To read the story in English click here!
La Kuttu-kuttu Paddaga adalah nama seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia adalah seorang yang sangat ahli bermain sepak raga, sebab pekerjaannya setiap hari tiada lain hanyalah bermain sepak raga bersama teman-temannya. Pada suatu hari ia diajak oleh teman-temannya bertandang ke desa tetangga untuk bermain sepak raga melawan para pemuda di sana. Dan, secara kebetulan lapangan yang digunakan untuk bermain berada di dekat rumah seorang gadis penenun.
La Kuttu-kuttu Paddaga adalah nama seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia adalah seorang yang sangat ahli bermain sepak raga, sebab pekerjaannya setiap hari tiada lain hanyalah bermain sepak raga bersama teman-temannya. Pada suatu hari ia diajak oleh teman-temannya bertandang ke desa tetangga untuk bermain sepak raga melawan para pemuda di sana. Dan, secara kebetulan lapangan yang digunakan untuk bermain berada di dekat rumah seorang gadis penenun.
Setelah
beberapa lama bermain, La Kuttu-kuttu Paddaga merasa haus. Oleh karena rumah
yang terdekat adalah rumah sang Gadis Penenun, maka ia segera menuju ke sana
dengan maksud hendak meminta air minum. Setelah naik ke rumah dan bertemu
dengan Sang Gadis yang sedang menenun di Serambi. La Kuttu-kuttu Paddaga lalu
berkata, bolehkah saya meminta air barang seteguk?"
Si
Gadis yang waktu itu kebetulan sedang sendiri, segera menjawab, "maaf
langsung ambil sendiri saja di dapur. Saya belum bisa keluar dari alat tenun
ini, sebab benangnya baru saja di kanji."
Setelah
mendapat izin dari sang gadis, La Kuttu-kuttu Paddaga segera ke dapur untuk
minum. Waktu kembali dari dapur dan melewati Sang Gadis, ia secara basa-basi
bertanya," Sarung siapa yang engkau tenun?"
"Ya,
sarung kita," jawab gadis tenun singkat
"Oh,
begitu. Ya sudah, terima kasih sudah memberi saya minum," kata La
Kuttu-kuttu Paddaga berpamitan hendak melanjutkan bermain sepak raga
lagi.
Sambil
berlalu dari rumah itu sebenarnya ia selalu mengingat kata-kata terakhir sang
gadis yang menyatakan bahwa sarung itu adalah "Sarung kita". Dalam
pikirannya, apabila sarung itu adalah sarung milik mereka berdua. Dan,
dari situlah timbul niatnya untuk mengawini sang Gadis. Namun, ia tidak mempunyai uang untuk
melamarnya, sebab ia tidak bekerja alias pengangguran.
Beberapa
waktu kemudian, sebelum La Kuttu-kuttu Paddaga sempat mencari uang untuk
meminang, tiba-tiba ada seorang pemuda kaya yang telah memiliki pekerjaan
datang meminang pada orang tua si Gadis. Mendapat pinangan dari seorang pemuda
kaya, tentu saja orang tua gadis itu menerimanya dengan senang hati. Sementara
si Gadis yang akan dikawinkan sebenarnya merasa tidak suka melihat pemuda itu,
sebab ia tidak gagah dan buruk rupa lagi. Namun, karena orang tuanya memaksa,
maka ia pun akhirnya mau menerimanya.
Singkat
cerita, perkawinan antara si Pemuda kaya dengan si Gadis penenun pun
dilaksanakan. Setelah kawin, karena adat istiadat waktu itu melarang pengantin
baru berhubungan intim sebelum empat puluh hari perkawinan, maka mereka tidak
boleh tidur sekamar hingga waktu yang ditentukan berakhir. Beberapa hari
sebelum masa pantang terakhir, si Perempuan menyuruh adik laki-lakinya untuk
menyembelih seekor ayam. Setelah ayam di sembelih, ia meminta bagian tembolok
ayam tersebut untuk dibawa ke kamarnya. Tembolok itu kemudian digembungkan lalu
dikeringkan dan disimpan di bawah tempat tidurnya.
Ketika
adat pantangan berhubungan intim telah berakhir, pada malam hari sang Suami
mulai masuk ke dalam kamarnya. Saat sang Suami mematikan lampu dan ingin
melampiaskan nafsunya, cepat-cepat si Gadis mengambil tembolok kering dari
bawah tempat tidurnya. Tembolok itu kemudian diapitkan di pahanya, sehingga
secara samar-samar terlihat seperti alat kelaminnya. Terkecoh melihat
"alat kelamin" isterinya yang menjijikkan dan berbau sangat busuk,
sang Suami menjadi kaget setengah mati. Nafsu birahinya menjadi hilang seketika
dan tengah malam itu juga ia pulang lagi ke rumah orang tuanya.
Sesampai
di rumah, orang tuanya yang tengah tidur menjadi terkejut. Dengan mata yang
masih setengah terbuka, ayahnya bertanya, "Mengapa engkau pulang,
nak?"
"Wah,
rugi saya kawin, ayah," jawab si Pemuda.
"Kenapa?
Ada apa dengan istrimu?" tanya ayahnya.
"Maksud
saya menikah adalah untuk memperoleh keturunan. Namun, yang saya peristeri
hanyalah seorang perempuan yang berpenyakit," jawab anaknya.
Mendengar
jawaban itu, ayahnya segera berkata, "Ya, lebih baik kau ceraikan saja
isterimu itu!"
"Baiklah. Tetapi saya sudah malu untuk kembali kesana lagi. Bagaimana kalau ayah saja yang menceraikannya untukku?" tanya si Anak.
"Baiklah. Tetapi saya sudah malu untuk kembali kesana lagi. Bagaimana kalau ayah saja yang menceraikannya untukku?" tanya si Anak.
"Ya,
baiklah kalau begitu. Besok pagi aku akan ke sana," jawab ayahnya.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali ayah si Pemuda sudah berangkat ke rumah besannya,
tanpa berbasa-basi lagi ia langsung mengutarakan maksudnya. Ayah si Perempuan
yang sebenarnya sama sekali tidak mengetahui duduk persoalannya, namun ia juga
tidak ingin berbasa-basi, segera saja menyetujui permintaan talak dari
besannya. Saat itu juga terjadi perceraian antara si Pemuda kaya dengan
Perempuan penenun. Jadi, walau telah menjadi janda, Perempuan penenun itu tetap
seorang gadis karena belum pernah sekali pun ditiduri oleh mantan suaminya.
Setelah
mantan besannya pergi, ayah si Perempuan segera memanggil anaknya dan
memarahinya, "Kau apakan suamimu tadi malam sehingga mertuamu begitu panas
hati?"
"Mana
saya tahu, ayah. Andaikata ada perkataan saya yang menyakiti hatinya, tentu
ayah juga akan mendengarnya sebab kita tinggal serumah. Mungkin memang
beginilah nasib apabila seorang isteri sudah disukai lagi oleh
suaminya."jawab perempuan Penenun itu bersandiwara
Beberapa
waktu kemudian, La Kuttu-kuttu Paddaga mendengar kabar bahwa perempuan
idamannya itu telah bercerai. Untuk memastikan kebenarannya, ia pun segera
bertandang ke rumah si Perempuan. Sesampai di sana, ia segera mendatangi si
Perempuan yang waktu itu sedang menenun seorang diri. Setelah saling
berhadapan, ia langsung menanyakan perihal perceraian yang dialami si perempuan
beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan itu dijawab dengan sejujurnya oleh si
Perempuan dan akhirnya terjadilah percakapan yang cukup lama di antara mereka.
Dalam percakapan itu, si Perempuan menjelaskan hal ikhwal perkawinannya dengan
si Pemuda kaya dari awal hingga akhir.
Setelah
mendapat penjelasan yang sangat lengkap dari perempuan itu, akhirnya La
Kuttu-kuttu Paddaga menyatakan ingin mengawininya. Si Perempuan pun setuju,
namun ia baru bersedia kawin setelah masa idahnya habis, sekitar tiga bulan
lagi. Dan, selama masa idah itu La Kuttu-kuttu Paddaga diharapkan oleh sang
Perempuan untuk mencari uang guna membeli mas kawin. Namun, karena ia sudah
berstatus janda, maka jumlah mahar atau mas kawin yang harus disediakan tidak
perlu sebanyak apabila ia masih gadis.
Oleh
karena jumlahnya tidak seberapa, dalam waktu singkat La Kuttu-kuttu Paddaga
sudah berhasil mendapatkan uang untuk membeli mas kawin. Setelah masa si
Perempuan habis, La Kuttu-kuttu Paddaga datang pada orang tuanya dengan maksud
untuk meminang anaknya. Karena anaknya sudah menjadi janda, orang tuanya pun
segera menerima pinangan La Kuttu-kuttu Paddaga tanpa meminta syarat yang
bermacam-macam. Singkat cerita, mereka pun kemudian menikah dan hidup bahagia.
La Kuttu-kuttu Paddaga merasa bahagia karena telah berhasil mempersunting
perempuan pujaannya walau sudah menjadi janda. Sedangkan si Perempuan juga
merasa bahagia karena idamannya untuk memperoleh seorang pemuda yang gagah dan
tampan telah terwujud, walaupun ia harus kawin dulu dengan seorang pemuda yang
buruk rupa.
Comments
Post a Comment